Di ibukota, saya selalu bertemu dengan anak-anak muda yang bersemangat untuk merintis startup. Mereka begitu yakin, bahwa aplikasi yang sedang mereka rumuskan akan membuat mereka kaya raya.
Sosok Nadiem Gojek, Zaky Bukalapak dan Belva Ruang Guru, membius anak muda untuk sukses di usia muda. Anak muda yang mengaku penggiat startup di Indonesia, biasanya termotivasi dengan kisah-kisah sukses para pendiri platform bisnis berbasis digital di dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan kumpulan cerita sukses tersebut, teman saya, memutuskan untuk terjun membangun startup. Pertanyaannya, apakah teman saya, yang hanya bermodal niat dan keterampilan seadanya dapat berhasil bersaing di sebuah era dimana modal masih menjadi senjata persaingan usaha?
Pada banyak kasus, saya lebih sering menemukan startup yang berakhir gagal ketimbang berhasil. Sayangnya cerita kegagalan para perintis ini tidak pernah muncul di halaman pertama media sosial kita atau media massa.
Cerita-cerita kegagalan para perintis startup selalu tersembunyi atau memang tidak begitu menarik perhatian para wartawan untuk diwartakan.
Memang benar adanya, kita tidak terlalu tertarik untuk melihat dan belajar dari kegagalan. Kita hanya menyukai cerita kegagalan dari para tokoh besar, yang dulu berada di puncak popularitas dan kini jatuh. Bukan kegagalan dari sang pemula maupun kisah para amatir yang baru memiliki mimpi besar.
Kita lebih tergiur keberhasilan, ketimbang mencegah kegagalan
Kebiasaan ini membuat kita kadang menutup diri dari kegagalan-kegagalan yang ada di depan mata dan keseharian kita. Menurut Rofl Dobelli, dalam The Art Of Thinking Clearly (2014), hal ini dikarenakan kemenangan dibuat lebih ketara daripada kegagalan.
Masih menurut Dobelli, orang-orang secara sistematis menganggap kemungkinan mereka untuk sukses itu terlalu tinggi.
Persepsi semacam itu, membuat kita memperkirakan kemungkinan untuk sukses dengan perkiraan yang terlalu optimis. Terlalu optimis seringkali berujung pada semangat yang tidak diimbangi akal sehat.
Kita semakin sulit untuk menyadari bahwa faktanya peluang itu semakin sempit, dan kecil kemungkinan kita berhasil, dalam konteks ini memenangkan pertarung dengan modal “semangat” di tengah kompetisi sesama startup yang ditopang angel atau devil investors adalah pilihan berani atau bisa jadi bunuh diri.
Kita harus mempelajari lebih dalam bahwa di balik puluhan startup raksasa di Indonesia yang terkenal, ada ribuan startup yang mati sebelum tumbuh.
Di belakang ribuan startup yang mati itu, ada jutaan perintis yang masih memformulasikan ide mereka baru tahap proposal bisnis. Sisanya, masih belajar apa itu startup dan merasa yakin dapat merubah nasibnya di masa depan.
Cerita-cerita kegagalan ini bagi saya adalah harta karun sebenarnya, bukan kisah-kisah inspiratif para “pemenang” yang cenderung manipulatif. Karena kisah para pemenang seringkali terlalu banyak bumbu dramanya ketimbang subtansinya.
Sedangkan, cerita-cerita orang gagal cenderung lebih jujur, menyakitkan tapi menjernihkan pikiran kita untuk tetap waspada memperbaiki diri.
Saya tidak ingin mematahkan mimpi anak-anak muda yang ingin meluncurkan startup, cuma saya hanya berusaha mengajak untuk berpikir lebih jernih sebelum bertindak.
Caranya dengan mempelajari kisah keberhasilan sekaligus kegagalan secara bersamaan, agar kita dapat menentukan langkah dan menanggulangi resikonya: entah saat gagal maupun ketika berhasil.
Upaya menjernihkan akal sehat ini tidak hanya berlaku bagi startup, tetapi juga berlaku bagi organisasi-organisasi kepemudaan lainnya.
Untuk memulai membiasakan diri kita untuk belajar dari kegagalan, kita dapat mempelajari nasib 40.000 startup dari Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital.
Program ini merupakan inisiasi Kemkominfo yang kini tak terdengar kabarnya, pertanyaan besarnya apakah inkubasi mereka sudah ada yang jadi Unicorn? Jika mereka gagal, apa yang dapat kita pelajari?